Sabtu, 08 Oktober 2016

HIRARKI SUMBER HUKUM ISLAM


Sesuai dengan teori hirarki hukum, maka azas peraturan perundangan-undangan menyatakan "bahwa peraturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya".

Azas hukum ini mengisyaratkan ketika terjadi konflik antara peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka aturan yang lebih tinggi berdasar hirarkinya harus di dahulukan dan aturan yang lebih rendah harus disisihkan.

Dalam sistem hukum negara Republik Indonesia, teori hirarki hukum ini dimanifestasikan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

Undang Undang Dasar Tahun 1945.
Undang Undang/Peraturan Presiden Pengganti Undang Undang (Perpu).
Peraturan Pemerintah (dengan turunannya, di kereta api reglement, surat edaran kepegawaian, surat edaran keuangan , dsb.)
Peraturan Presiden.
Peraturan Daerah.

Susunan hirarki tersebut diatur juga pada sumber hukum islam yaitu :
Al Quran - Hadits (sunah) - ijtihad – Ijma’ - Qiyas - Istihsan - Urf - Istishhab - Maslahah al-Mursalah - Syadd al-Dzara`i' - Syar'u Man Qablana dan Qaul al-Shahabi. Mengingat terbatasnya ruang, penulis hanya mengulas beberapa sumber hukum islam tersebut.

Pertama Al Qur’an, Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas.

Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya dan meyakini kebenarannya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.

Beberapa firman Allah Swt. yang mewajibkan umat muslim meyakini Al-Quran :

“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. al-Baqarah [2]: ayat 2,3,4).

 “Katakanlah: ‘Rohul Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. an-Nahl [16]: 102).

 “Sebenarnya, al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.” (QS. al-‘Ankabuut [29]: 49).

Kedua Hadits (Sunah), hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan shifat tabiat dan akhlaqnya serta ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT :

“ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7 ).

“Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasulnya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59).

Hadits memiliki dua fungsi sebagai berikut :

Fungsi pertama memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga keduanya (Al Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memaparkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah SAW dalam haditsnya.

Fungsi kedua menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Qur’an.

Tapi kita harus selektif dalam memilih hadits , karena ada beberapa kriteria hadits :

HADITS SHAHIH, pengertian Hadits Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha – yashihhu – suhhan wa sihhatan artiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar. Sedangkan secara istilah yaitu : " Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit ( memiliki hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat". 

Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:  pertama, apabila diriwayatkan oleh para perawi (periwayat) yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur memahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadits yang dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat), rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW.

HADITS HASAN, pengertian Hadits Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat “al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani yaitu: “Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya yang kurang dari awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula cacat”. 
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali hanya dibidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.

HADITS DHOIF, pengertian Hadits Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara istilah yaitu;

 “ Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi) dengan cara hilangnya satu syarat dari syarat-syarat hadits hasan”. Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dha’if yang sangat lemah. Karena kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hukum.

HADITS MAUDHU, pengertian Hadits Maudhu’’ Secara etimologi, kata Maudhu’’ adalah isim ma’ful dari kata wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-‘an, yang mempunyai arti al-isqath (meletakan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada ada atau membuat-buat), dan al-tarku (ditinggal).

Sedangkan secara terminologis, Ibnu Al-Shalah, yang kemudian diikuti oleh iman Al-Nawawi mendefisinikan Hadits Maudhu’ sebegai “hadits yang diciptakan dan dibuat-buat”.

Sementara itu, Mahmud Al-Tahan, mendefinisikan sebagai: “kebohongan yang diciptakan dan diperbuat serta disandarkan kepada Rasulullah SAW. “

Hukum Berdusta Atas Nama Nabi
Ulama sepakat bahwa sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam adalah salah satu dosa besar yang diancam pelakunya dengan neraka karena adanya akibat buruk, Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa berdusta atas saya dengan sengaja maka tempatnya di neraka” ( HR. Bukhari dan Muslim).

Sebab-Sebab Munculnya Pemalsuan Hadits
Polemik politik dan perebutan kekuasaan sepeninggalnya (wafatnya) Utsman radhiyallohu anhu, Ali radhiyallohu anhu, Abu Bakar radhiyallohu anhu, dan Umar radhiyallohu, dimana terjadi terpecahlah belahnya kaum muslimin, dibarengi dengan fanatisme kepada khalifah,  pemimpin, dan Mazhab. Serta adanya tujuan lain yaitu tujuan duniawi dan keserakahan harta, seperti untuk melariskan dagangannya sehingga membuat hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan barang yang dijualnya.

Hadits-hadits palsu yang banyak beredar di tengah masyarakat kita memberi dampak sangat buruk pada masyarakat Islam, diantaranya munculnya keyakinan-keyakinan yang sesat, munculnya ibadah-ibadah yang bid’ah, membodohi umat islam sendiri, tercerai berainya umat muslim dan menjadikan matinya sunnah.

Ketiga Ijtihad, ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunakan akal (aqli) pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. 

Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. 

Kisah mengenai Muadz ini menjadikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits (Ijtihad).

Untuk melakukan ijtihad (mujtahid), para ulama atau pemuka agama harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:

Mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum.
Memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits.
Menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.

Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia, juga memacu agar kita lebih dalam lagi menggali pengetahuan agama baik ilmu fiqih, tauhid dan wawasan ilmu agama islam lainnya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas).

Apabila terjadi perbedaan pendapat yang sangat mendasarl, alangkah baiknya kita kembalikan kepada sumber hukum islam dengan hirarkinya seperti tersebut diatas, pertama kita cari beberapa dalilnya yang terdapat Al Quran,  Allah berfirman, “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS An Nahl : 64). 

Seandainya masih kurang jelas cari haditsnya yang berhubungan dengan hal itu, atau tafsirnya (misalnya tafsir ibnu Katsir), andaikata perbedaan pendapat itu masih belum ada titik temu juga (tidak ada dalam Quran dan Hadits), maka kita serahkan kepada kesepakatan jumhur ulama (ulama terdahulu atau ulama saat ini), setelah melalui proses ijtihad.

Wallahua’lam bishawab.


Sumber :

Al Quran dan Hadits – bulletin masjid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar